Senin, 07 Januari 2013

Orang Jerman Putih Mau Jadi Gosong, Orang Indonesia Gosong Mau Jadi Putih


Ada dua cerita yang mengilhami tulisan saya kali ini. Pertama saat anak kos saya yang tiba-tiba meminta sebuah tikar untuk nglekar (red: berbaring) di kebun kami yang luas. Bikini bintik-bintik barunya nampak seksi membalut tubuhnya yang kencling putih memplak (red: mulus nan bersinar). Untung saja hari itu kampung lagi sepi, apalagi kebun kami amat terlindungi oleh pagar tinggi dan pohon-pohon tua. Ia bersumpah kepada keluarganya di Hungaria untuk menjadi gosong selama berada di tanah Jerman. Heee …
Yang kedua adalah dari jantung hati saya. Sepulang dari kantor, suami saya tersenyum manis. Ia bangga dikagumi teman-teman di kantornya. Katanya lagi mereka iri, kulit suami saya yang ganteng sedunia itu sangat apik. Orang pabrik menuduh suami saya mandi matahari di salon. Padahal sejak bulan Mei, kami bekerja keras membangun taman batu di kebun depan dan belakang rumah. Sengatan matahari tak memberi ampun pada kami bukan dari solar buatan. That’s it.
Memang di Jerman, biasanya nge-trend jika kulit berwarna coklat matang. Tetapi nyatanya karena pigmennya berbeda, setelah berjemur, orang-orang Caucasia biasanya justru berwarna merah. Sangat jarang orang Jerman berkulit putih yang saya kenal, bisa secoklat orang Indonesia. Jika ada bisa dihitung dengan jari; seorang lelaki tetangga gang sebelah yang memiliki peternakan hewan, seorang wanita sebelah yang langganan solarium dan seorang nenek dari gang bawah yang sering bertamasya ke Turki. Bingo!
Saya maklum akan kegilaan mereka akan matahari. Jerman memiliki empat musim sehingga matahari tak selalu ceria bersinar seperti di Indonesia. Bulan Juni hingga Agustus nanti biasanya orang Jerman lebih banyak menuju Bodensee, Nordsee atau ke pantai di luar negeri seperti Spanyol, Italia, Afrika, Malta dan lainnya untuk sekedar berjemur sepanjang hari. Tekat mereka mengejar panas matahari memang tanpa ampun. Keinginan mereka untuk berkulit gelap memang bak mencari harta karun.
Sementara untuk musim gugur, musim semi dan musim salju dimana matahari tidak sekuat musim panas, orang Jerman biasa memanfaatkan salon-salon yang digelar dikota-kota misalnya Tuttlingen, Spaichingen, Rottweil atau Stuttgart. Biasanya pelanggan ditarik 5 euro per jam.
Salah seorang tetangga saya telah melakukannya selama bertahun-tahun. Perempuan berambut blonde itu sangat ketagihan. Ibu beranak tiga itu juga berhasil membuat warna kulitnya benar-benar sawo matang. Saya tidak tahu, apakah bintik-bintik hitam dikulit wanita berumur 55 tahun itu efek dari penyinaran salon ataukah proses penuaan. Yang jelas, ia amat puas dan berhasil merayu para tetangga dan teman-temannya untuk berbondong-bondong ke solarium, mandi matahari palsu. Wuih!
Nah, kalau orang Jerman saja mau gosong, orang Indonesia banyak yang berlomba-lomba ke salon untuk pemutihan. Berapapun biayanya banyak orang tak perduli. Segala pelindung dari topi sampai payung digunakan pula sebagai penangkal sinar matahari. Mulai dari dokter kulit A sampai Z, dari yang ecek-ecek (red: amatiran) sampai professional semua ada dalam daftar kebanyakan para wanita tanah air kenalan saya.
Seorang teman kuliah saya dahulu bahkan amat ketagihan dengan krim pemutih dari seorang dokter di Semarang. Sekali saja ia lupa mengoleskan di kulit, ia seperti wartawan tanpa pena. Wanita manis itu tak ragu merogoh kantong untuk membayar krim ratusan ribu. Ia tak peduli pola makannya terganggu, yang penting keinginannya agar badan putih mulus tercapai.
Sejujurnya, saya tidak suka kulit saya gosong, meskipun demikian saya sangat segan dan berpikir dua belas kali untuk mencoba membuat kulit lebih putih dengan sebuah teknologi atau kosmetika. Hiyyy, takut kalau ada yang salah. Untung dokter setempat disini menyatakan saya bebas kanker kulit (di Jerman usia 35 tahun dianjurkan untuk cek Haut Krebs secara mandiri). Dahulu, beberapa perawatan yang sering saya lakukan dirumah adalah luluran. Kulit saya sudah terbebani dengan timbunan kosmetika seperti bedak, lipstick, warna-warni blush on, eye shadow dan lainnya. That’s enough for me, isn’t it? Toh air wudlu sering membersihkan kulit muka saya, jadi sedikit terbantu.
Satu hal yang selalu saya ingat di kepala ini saat suami saya berkata, “Du bist so schön, schon braun und ohne ‘Malen’ (red: Schminken) ist besser … am meisten wenn du am Morgen aufgestanden bist, du bist richtig hübsch …“ (red: Kamu sudah cantik alami, tak perlu make up. Kamu paling cantik kalau bangun dari tidur. Apalagi kulit kamu sudah coklat nan eksotik). Istri mana yang tidak bangga dan senang dipuji terus oleh suaminya seperti ini? Bisa klepek-klepek saya (red: mati kutu).
Terlepas dari mau jadi gosong atau mau jadi putih itu memang hak masing-masing pribadi. Asal berhati-hati dan tahu resikonya karena masing-masing usaha dari keduanya menimbulkan efek samping yang wallahu’alam. Black or white? It is just about a color. Think twice when we will decide it.

http://lifestyle.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar