Ada dua cerita yang mengilhami tulisan saya kali ini. Pertama saat anak kos saya yang tiba-tiba meminta sebuah tikar untuk nglekar (red: berbaring) di kebun kami yang luas. Bikini bintik-bintik barunya nampak seksi membalut tubuhnya yang kencling putih memplak (red: mulus nan bersinar). Untung
 saja hari itu kampung lagi sepi, apalagi kebun kami amat terlindungi 
oleh pagar tinggi dan pohon-pohon tua. Ia bersumpah kepada keluarganya 
di Hungaria untuk menjadi gosong selama berada di tanah Jerman. Heee …
Yang
 kedua adalah dari jantung hati saya. Sepulang dari kantor, suami saya 
tersenyum manis. Ia bangga dikagumi teman-teman di kantornya. Katanya 
lagi mereka iri, kulit suami saya yang ganteng sedunia itu sangat apik. 
Orang pabrik menuduh suami saya mandi matahari di salon. Padahal sejak 
bulan Mei, kami bekerja keras membangun taman batu di kebun depan dan 
belakang rumah. Sengatan matahari tak memberi ampun pada kami bukan dari
 solar buatan. That’s it.
Memang
 di Jerman, biasanya nge-trend jika kulit berwarna coklat matang. Tetapi
 nyatanya karena pigmennya berbeda, setelah berjemur, orang-orang 
Caucasia biasanya justru berwarna merah. Sangat
 jarang orang Jerman berkulit putih yang saya kenal, bisa secoklat orang
 Indonesia. Jika ada bisa dihitung dengan jari; seorang lelaki tetangga 
gang sebelah yang memiliki peternakan hewan, seorang wanita sebelah yang
 langganan solarium dan seorang nenek dari gang bawah yang sering 
bertamasya ke Turki. Bingo!
Saya maklum akan kegilaan mereka akan matahari. Jerman
 memiliki empat musim sehingga matahari tak selalu ceria bersinar 
seperti di Indonesia. Bulan Juni hingga Agustus nanti biasanya orang 
Jerman lebih banyak menuju Bodensee, Nordsee atau ke pantai di luar 
negeri seperti Spanyol, Italia, Afrika, Malta dan lainnya untuk sekedar 
berjemur sepanjang hari. Tekat mereka mengejar panas matahari memang 
tanpa ampun. Keinginan mereka untuk berkulit gelap memang bak mencari harta karun.
Sementara
 untuk musim gugur, musim semi dan musim salju dimana matahari tidak 
sekuat musim panas, orang Jerman biasa memanfaatkan salon-salon yang 
digelar dikota-kota misalnya Tuttlingen, Spaichingen, Rottweil atau 
Stuttgart. Biasanya pelanggan ditarik 5 euro per jam. 
Salah
 seorang tetangga saya telah melakukannya selama bertahun-tahun. 
Perempuan berambut blonde itu sangat ketagihan. Ibu beranak tiga itu 
juga berhasil membuat warna kulitnya benar-benar sawo matang. Saya tidak
 tahu, apakah bintik-bintik hitam dikulit wanita berumur 55 tahun itu 
efek dari penyinaran salon ataukah proses penuaan. Yang jelas, ia amat 
puas dan berhasil merayu para tetangga dan teman-temannya untuk 
berbondong-bondong ke solarium, mandi matahari palsu. Wuih!
Nah,
 kalau orang Jerman saja mau gosong, orang Indonesia banyak yang 
berlomba-lomba ke salon untuk pemutihan. Berapapun biayanya banyak orang
 tak perduli. Segala pelindung dari topi sampai payung digunakan pula 
sebagai penangkal sinar matahari. Mulai dari dokter kulit A sampai Z, 
dari yang ecek-ecek (red: amatiran) sampai professional semua ada dalam daftar kebanyakan para wanita tanah air kenalan saya.
Seorang
 teman kuliah saya dahulu bahkan amat ketagihan dengan krim pemutih dari
 seorang dokter di Semarang. Sekali saja ia lupa mengoleskan di kulit, 
ia seperti wartawan tanpa pena. Wanita
 manis itu tak ragu merogoh kantong untuk membayar krim ratusan ribu. Ia
 tak peduli pola makannya terganggu, yang penting keinginannya agar 
badan putih mulus tercapai.
Sejujurnya,
 saya tidak suka kulit saya gosong, meskipun demikian saya sangat segan 
dan berpikir dua belas kali untuk mencoba membuat kulit lebih putih 
dengan sebuah teknologi atau kosmetika. Hiyyy, takut kalau ada yang 
salah. Untung dokter setempat disini menyatakan saya bebas kanker kulit 
(di Jerman usia 35 tahun dianjurkan untuk cek Haut Krebs secara
 mandiri). Dahulu, beberapa perawatan yang sering saya lakukan dirumah 
adalah luluran. Kulit saya sudah terbebani dengan timbunan kosmetika 
seperti bedak, lipstick, warna-warni blush on, eye shadow dan lainnya. That’s enough for me, isn’t it? Toh air wudlu sering membersihkan kulit muka saya, jadi sedikit terbantu.
Satu hal yang selalu saya ingat di kepala ini saat suami saya berkata, “Du
 bist so schön, schon braun und ohne ‘Malen’ (red: Schminken) ist besser
 … am meisten wenn du am Morgen aufgestanden bist, du bist richtig 
hübsch …“ (red: Kamu sudah cantik alami, tak perlu make up.
 Kamu paling cantik kalau bangun dari tidur. Apalagi kulit kamu sudah 
coklat nan eksotik). Istri mana yang tidak bangga dan senang dipuji 
terus oleh suaminya seperti ini? Bisa klepek-klepek saya (red: mati kutu). 
Terlepas dari mau jadi gosong atau mau jadi putih itu memang hak masing-masing pribadi. Asal berhati-hati dan tahu resikonya karena masing-masing usaha dari keduanya menimbulkan efek samping yang wallahu’alam. Black or white? It is just about a color. Think twice when we will decide it.
http://lifestyle.kompasiana.com 






0 komentar:
Posting Komentar